![]() |
AKBP Fajar Dan Fani. Fani jual anak 6 tahun Ke Fajar yang adalah anak pemilik kos tempat Fani kontrak |
Viral Kupang - NTT
Kasus ex Kapolres ngada yang melibatkan Stefani alias Fani seorang mahasiswa asli soe yang menjual anak umur 6 tahun kepada lelaki hidung belang memberikan Makna tersendiri agar para orang tua harus lebih rajin memantau pergerakan anak anaknya di dunia maya maupun dunia nyata.
Ini Bukan Akhir, Tapi Awal Untuk menjadi Orang Yang Lebih Baik.
saya yakin setelah tulisan saya ini, akan menimbulkan Pro dan Kontra, (UTAMAKAN MEMBACA SEBELUM KOMENTAR)
namun saya memposisikan diri menjadi seseorang yang berpikir jauh dari apa yang sedang terjadi. sejahat-jahatnya seseorang dia pasti memiliki secuil hati yang baik. Namun kadang kesalahannya, kejahatannya, menutup semua kebaikan, itu yang perlu untuk dirubah.
Jika ini penting Share, namun jika dianggap sampah, simpanlah siapa tahu akan berguna kelak.
Keterbukaan Informasi dan perkembangan media dan teknologi membuat masyarakat pada umumnya buta Literasi Digital.
Literasi digital dianggap hal yang biasa dan tidak penting untuk dipelajari, sehingga kadang membuat seseorang harus terjerat akan masalah hukum. hal lainnya adalah bahwa buta literasi digital membuat seseorang menjadi budak social media.
Akun-akun social media hanya mencari popularitas semata namun edukasi literasi sangat buta, ini adalah kerusakan moral yang tak dirasakan namun memiliki dampak yang besar di masa yang akan datang. jika tidak demikian, carikanlah bagi saya akun social media yang mana yang berkomentar dengan baik pada kasus ini, pasti bisa dihitung dengan jari.... semua hanyalah sampah sampah social media yang buta akan Literasi Digital
Ini hanya sebuah pendahuluan kita masuk pada topiknya.
minggu ini marak social media dihebohkan dengan beberapa kasus khususnya di NTT adalah kasus asusila yang melibatkan Eks Kapolres Ngada yang akhirnya memunculkan beberapa nama baru, dan tentunya ini telah masuk dalam rana hukum, namun bagaimana dengan publik/ pengguna social media?
kembali lagi pada butanya literasi digital membuat publik seperti hakim yang maha adil yang mengambil kesimpulan terlebih dahulu, menjastifikasi, menghakimi dan masih banyak lainnya. terlepas dari hal itu, di mata hukum, seseorang yang telah disangsikan melanggar hukum tetap masih memiliki perlindungan hukum, Bab VI Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP, kemudian Pasal 144, 163, 213 KUHAP. Hak- hak tersangka ini harus dihargai dan dihormati. Terlepas dari seberapa jahatnya orang tersebut.
kita masuk dalam satu hal yang menarik lagi, seorang perempuan muda yang juga disangkakan secara hukum terlibat dalam kasus asusila tersebut, ini sesuatu yang menarik yang mungkin diluar dari pemahaman publik yang buta Literasi digital dan menjadi hakim yang agung namun bodoh menempatkan posisi dalam sarana social media, Jika ditinjau dalam proses hukum yang berlaku di Indonesia, perempuan tersebut bisa ditempatkan menjadi tokoh utama, namun dibalik itu ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan, misalnya timbul pertanyaan, apakah karena paksaan? apakah karena desakan? apakah karena ancaman, apakah ada rayuan sehingga melakukan tindakan tersebut...? Dan jika itu benar adanya maka keringanan hukum bisa didapati, namun kembali lagi bahwa publik tidak memiliki kewenangan mutlak untuk mengambil kesimpulan.. sampai di sini kita belum mengetahui motif di balik semua ini. ( khusus untuk perempuan itu ) belum lagi dilihat dari usia yang masih sangat muda sehingga cepat berpengaruh pada masalah psikologi.
Peryataan yang lebih mendalam dan diluar dari pemahaman publik yang buta Literasi Digital adalah bahwa Di Indonesia Pendidikan seks pada anak usia dini dianggap sebagai hal yang tabu sehingga seorang anak akan mencari tahu sendiri orientasi seksualnya, yang pada akhirnya banyak yang terjerumus dalam perilaku penyimpangan seks, Ingat Pendidikan Seks bukan sekedar tentang pemahaman organ reproduksi.
banyak anak-anak berusaha mencaritahu sendiri orientasi seksualitasnya dan pemenuhan kebutuhan individunya pada tindakan-tindakan yang dianggap tidak merugikan dirinya sehingga hal ini menjadi bom waktu yang pada puncaknya adalah merusak generasi kehidupannya....
jika ini ditinjau dari kebutuhan ekonominya, maka kesalahan terbesar terdapat pada kehadiran keluarga, orang tua dan lingkungan yang memaksa anak tersebut melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya merugikan, namun ini kecil kemungkinannya, karena sebagian besar orang tua di NTT bertanggung jawab penuh pada apa yang menjadi kebutuhan anaknya.
sehingga hal yang bisa menjadi perenungan bagi orang tua dan para anak-anak adalah bahwa posisikan diri kita sebagai seseorang yang bukan menghakimi, jika anak kita bertanya pada sesuatu yang sifatnya pribadi yang terjadi pada tubuh anak tersebut, orang tua harus menjelaskan dengan bahasa yang baik, jangan biarkan anak- anak mencari tahu sendiri apa yang ia alam.
bagi saya kasus ini adalah salah satu kasus yang kesalahannya terdapat pada sebuah keinginan yang didapat dari rasa ingin tahu dan kebutuhan pribadi yang tak terpenuhi sehingga timbul sebuah keinginan yang pada akhirnya mempengaruhi psikologi dan ketergantungan yang merugikan. Kebutuhan pribadi yang tak terpenuhi bisa masuk dalam kategori ekonomi, namun ini masih kemungkinan, karena kebali lagi kita bukan hakim yang langsung mengambil kesimpulan.
bagaimana dengan anak kecil yang menjadi korban juga, bagi saya letak masalahnya bukan pada anak kecil tersebut, anak kecil tersebut hanyalah korban dari perilaku penyimpangan seksual yang terjadi, namun di balik itu, orang tua memiliki peranan penting untuk menjaga dan memposisikan diri sebagai benteng utama, sebagai istilah sediakan obat sebelum sakit, sediakan payung sebelum hujan, orang tua modern kadang merasa lingkungan sekitar telah aman sehingga tidak terlalu peduli kepada apa yang hari ini anaknya lakukan.. Jangan terlalu percaya pada lingkungan sekitar, dan jangan pernah merasa semua baik baik saja, bertanyalah pada anak anda apa yang hari ini ia lakukan, lakukan pengawasan sebelum penyesalan itu terjadi. percayalah kejahatan itu ada karena ada keinginan dan celah, dan banyak orang tua modern buta akan hal ini..
bagi para pengguna social media, janganlah kita mendahului hakim dan menganggap diri kita paling benar dari semua manusia yang ada.
dibalik sebuah kesalahan besar yang dilakukan ada hal baik yang menjadi pelajaran bagi dirinya dan bagi setiap orang dan juga bagi mereka yang memiliki anak.
Terus berjuang kehidupan masih panjang. sebuah kesalahan bukan akhir dari sebuah kehidupan tapi awal dari kebangkitan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.. Berdoalah dan berubahlah, Pengampunan itu ada dari Allah yang kamu sembah.
untuk para keluarga, ini bukan sesuatu yang perlu disesali lebih dalam, ini hanyalah sesuatu yang terjadi akibat dari minimnya Literasi Digital, dan ambillah ini sebagai sesuatu yang bisa membawa pada kehidupan yang lebih baik.
(**Catatan
Keterangan Photo : Internet/FB