4 Alasan Pemilik Kos di Bali Tolak Penyewa Asal NTT, Ini yang Bikin Warga Lokal Resah
Bagi para pencari kerja asal Nusa Tenggara Timur (NTT), tantangan terbesar saat ini di Bali bukan lagi soal mencari pekerjaan, melainkan menemukan tempat tinggal atau kos yang mau menerima mereka.
Ironisnya, di tengah peluang kerja yang terbuka lebar, mencari kos justru menjadi hal yang lebih sulit. Sebagian pemilik kos di Bali mengaku enggan menerima calon penghuni asal NTT karena beberapa alasan perilaku yang dianggap mengganggu keamanan dan kenyamanan warga sekitar.
Beberapa warga NTT bahkan mengaku dikeluarkan secara halus dari kos yang sebelumnya mereka tempati, dengan alasan akan direnovasi, digunakan sendiri, atau alasan lain yang sopan untuk meminta mereka pindah.
Dari unggahan akun Facebook Vincebere Life Story pada Selasa (28/10/2025), terungkap empat alasan utama mengapa sejumlah pemilik kos menolak penyewa asal NTT.
1. Terlalu Banyak Penghuni dalam Satu Kamar
Beberapa pemilik kos mengeluhkan jumlah penghuni yang melebihi kapasitas kamar. Kamar yang seharusnya diisi satu atau dua orang, kerap dihuni hingga lima sampai tujuh orang.
Kondisi ini membuat ruangan sesak, fasilitas cepat rusak, dan suasana kos tidak nyaman bagi penghuni lain. Pemilik kos merasa dirugikan dan menganggap hal itu sebagai bentuk penyalahgunaan aturan.
“Bukan masalah asalnya dari mana, tapi kalau satu kamar diisi enam orang, siapa pun pasti saya tolak,” kata seorang pemilik kos di Denpasar.
2. Kebisingan Akibat Musik Keras di Malam Hari
Alasan kedua adalah kebisingan di malam hari. Beberapa penghuni kos asal Timor diketahui sering memutar musik keras hingga larut malam.
Musik reggae, dangdut koplo, bahkan lagu rohani diputar dari berbagai kamar dengan speaker Bluetooth masing-masing, menciptakan suasana seperti “festival musik mini” di malam hari.
“Kadang jam 11 malam masih rame banget. Musiknya beda-beda di tiap kamar,” tulis salah satu komentar warganet di Facebook.
Hal ini dianggap mengganggu waktu istirahat warga sekitar yang umumnya mulai tenang sejak pukul 10 malam.
3. Mudah Tersinggung dan Cepat Emosi
Sebagian warga lokal juga menilai bahwa penghuni kos asal NTT mudah tersinggung dan cepat emosi saat menghadapi kesalahpahaman kecil.
Beberapa kasus bahkan berujung pada pertengkaran antar penghuni, hingga melibatkan pecalang atau polisi adat untuk menenangkan situasi.
“Kalau ada ribut-ribut sedikit, mereka langsung panas. Akhirnya kami jadi takut,” kata seorang warga di kawasan Ubung.
4. Gaya Hidup dan Perilaku yang Dinilai Mengganggu
Alasan terakhir yang paling sering dikeluhkan adalah gaya hidup yang dianggap tidak sesuai norma lokal.
Sebagian penghuni kos asal NTT disebut sering mabuk, membuat keributan, muntah sembarangan, bahkan meminjam barang tanpa izin.
Beberapa kasus kriminalitas yang melibatkan oknum asal Sumba juga memperburuk citra masyarakat NTT di mata warga Bali. Padahal, tidak semua orang NTT seperti itu.
Tak Semua Warga NTT Seperti yang Disebut
Meski begitu, banyak pihak mengingatkan agar stigma negatif tidak digeneralisasi. Banyak warga NTT yang sopan, rajin, dan beretika baik selama tinggal di Bali.
“Yang ditolak seharusnya perilaku buruknya, bukan asal daerahnya. Banyak orang NTT datang ke Bali dengan niat kerja dan hidup jujur,” tulis akun Vincebere Life Story.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya saling menghormati dan memahami perbedaan budaya, agar tidak muncul diskriminasi baru di tengah masyarakat Bali yang dikenal toleran.
