Representasi simbolik menjadi alasan kematian. Itulah kenyataan hidup di daerah konflik.
Melalui siaran resmi OPM, mereka sedang siapkan tentara wanita untuk perang melawan TNI Polri yang mereka sebut sedagai penjajah dari NKRI.
Salah satu sasaran mereka adalah Guru dan Nakes yang bertugas di pedalaman Papua. Nakes dan guru dianggap sebagai informan bagi TNI Polri oleh OPM.
Sebagaimana diketahui, guru dan nakes di pedalaman Papua mayoritas dari NTT dan Maluku, serta orang Asli Papua (OAP).
Baru baru ini, guru asal NTT dibunuh karena dituduh sebagai mata mata TNI Polri.
OPM telah beri peringatan kepada Guru dan Nakes asal NTT dan Maluku agar mundur dari pedalaman Papua karena dianggap bantu TNI POLri untuk lawan OPM.
Berikut ini pernyataan dari Jubir OPM, Seby Sambom:
Orang menjadi sensitif dan akan membunuh mereka yang terlihat atau dianggap menjadi bagian dari pihak lawan. Ini bukan saja terjadi dengan guru Flores itu yang di dapati memiliki foto berpakaian loreng (seragam TNI) tapi juga terhadap orang Papua. Misalnya: seorang anggota Bawaslu yang dibunuh oleh TNI karena dianggap bagian dari TPNPB. Atau kasus-kasus pembunuhan lainnya terhadap orang asli Papua.
Keadilan terhadap korban dan perlindungan HAM dijalan bayang-bayang. Pelaku menyatakan bertanggung jawab tapi proses hukum di jalan yang berbeda. TPNPB menyatakan bertanggung jawab dan TNI Polri menjawab dengan operasi militer yang nenyebabkan kekerasan terhadap warha sipil. Ada pengungsian warha spil skala besar.
Sejumlah tokoh, mulai dari Pastor John Jonga hingga Uskup Agung Merauke bikin pernyataan mengutuk tindakan TPNPB. Atas nama HAM, mereka mengutuk. Mereka bikin seruan moral, tapi sayangnya terkesan mereka masih berpihak kepada TNI dan Polri sebagai salah satu pihak dalam konflik itu dan pertanyaan apakah mereka-mereka ini pernah mengutuk pembunuhan terhadap anggota Bawaslu yang dilakukan oleh TNI/Polri?. Dari sini media, kita bisa menganalisis bahwa pernyataan-pernyataan mereka itu tentu tidak muncul dengan sendirinya, ada yang atur untuk mereka menyatakan pendapat. Ada yang merekam, dan ada pula yang “menyuruh”. Kesannya mereka menjadi influencer TNI dan Polri.
Apakah pernyataan mereka itu jadi solusi kita? Sama sekali tidak. Mereka justru menjadi bagian yang ikut merawat kekerasan, karena posisi tidak independent. Lihat masalahnya baik baru bikin pernyataan, jangan bikin pernyataan karena dorongan orang lain.
Karena lingkaran kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua telah kusut menyatu dalam akar militerisme. Militer yang jadi guru dan nakes, bangun pos mereka di tempat-tempat publik kiranya ikut mengkondisikan kekerasan di ruang publik dan kematian bagi nakes dan guru.
Di pihak orang Papua, kekerasan, kematian dan penderitaan menjadi jalan sunyi yang dilalui setiap hari. Pelaku pembunuhan hanya diadili di muka umum tapi korban tak dapat rasa adil. Jangan lihat kasus kecil saja, lihat kasus Hartomo yang bunuh Bapa They. Dia dihukum penjarah dan pemecatan tapi lima tahun lalu kita dengar dia punya pangkat Jendral. Aneh kan tapi itulah realitas kita? Negara tak berlaku adil.
Karena itu jangan kutuk mengutuk TPNPB utk kasus Angruk, tapi lawanlah kolonialisme.
By: Sebby Sambom (Jubir KOMNAS TPNPB)